Tiga tahun lalu, tepat tanggal 4 September, aku menjalani kehidupan baru yang menantang. Pergi ke luar negri tanpa ada sanak saudara, hanya bersama suami dan bayi satu tahun. Aku pikir, hal itu saja sudah cukup menakutkan karena aku harus beradaptasi di tempat yang asing, jauh sekali dari kampung halaman.
Tahun ini, ternyata aku harus melewati hal yang lebih menantang. Ditinggal suami pulang kampung selama satu bulan. Tetap saja, tidak ada sanak saudara yang menemani. Hanya dua balita yang berada di sisiku saat ini. Penasaran, bagaimana pengalamanku menjadi single mom selama sebulan? Baca sampai akhir, ya!
Suami ingin sekali berlibur ke Indonesia setelah tiga tahun berjuang dengan proyek risetnya yang menguras fisik dan mental. Sayangnya, harga tiket paling masuk akal ada di bulan September sedangkan Razin sudah masuk sekolah. Jadilah dengan berat hati aku mengizinkan suami pulang kampung sendirian.
Tiket sudah dibeli sejak bulan Juni. Suami mempersiapkan aku dengan beberapa training saat menghadapi anak yang sedang rewel. Aku juga dibekali tips supaya tetap waras menjaga dua anak tanpa bantuan siapa-siapa. Awalnya, aku malah nggak berani sounding ke Razin soal Papanya yang mau pulang ke Indonesia. Tapi ternyata suami yang duluan ngasih tau. Alhamdulillah, Razin bisa terima dan nggak rewel minta ikut.
Hari keberangkatan pun tiba. Jauh hari, suami bilang mau naik kereta ke bandara hingga akhirnya malam sebelum pergi, malah minta aku antar pakai mobil. Syukurnya hari itu hari Minggu, jadi anak-anak bisa dibawa sejak pagi. Kami berangkat sekitar jam 7 pagi dari apartemen.
Sejak meninggalkan suami di bandara, aku jadi benar-benar sadar, kini tanggung jawab mengasuh anak hanya ada di pundakku. Aku berusaha rileks dan pasrah setelah bergelut dengan rasa sedih karena ditinggal suami dan nggak bisa pulang ke kampung halaman. Selama aku merasa rileks, tingkat kesabaran, kewaspadaan, dan kreativitasku jadi meningkat.
Betul saja. Sejak ditinggal suami, aku jadi bisa menangani anak-anak sebelum mereka tantrum. Aku jadi tahu persis kapan mereka akan membuat masalah dan sebisa mungkin aku mencegahnya dengan memberikan pengalih perhatian. Kalaupun udah sampai telanjur nangis, bisa diredakan dengan cepat tanpa meningkatkan ketegangan.
Alhamdulillah, mereka nggak pernah nangis kenceng plus teriak lebih dari satu menit. Tentu saja ini suatu perubahan besar karena sebelumnya Zayn hobi nangis teriak belasan menit. Setelah aku pahami lagi, ada dua alasannya. Pertama, karena sekarang aku fokus ngurus anak aja. Hal-hal lainnya jadi sampingan. Kedua, karena aku lebih rileks. Kalau ada suami di apartemen, aku merasa tertekan karena "harus menenangkan anak sekarang juga".
Masalahnya, aku bukan orang yang bisa bekerja di bawah tekanan (haha langsung nggak lolos interview sama HRD, nih). Kalau tertekan, mendadak fungsi otak berkurang, nggak kreatif nyari solusi, dan kesabaran berkurang. Akhirnya, bukannya meredakan situasi yang tegang, malah marah-marah dan menunggu suami aja lah yang nyelesein masalahnya.
Kunci menenangkan anak ternyata menyadari sedini mungkin kalau anak mau rewel; pastikan anak nggak kecapekan, ngantuk, atau laper; dan tetap tenang. Kalau diri sendiri udah santuy, biasanya muncul ide-ide ajaib buat mengalihkan perhatian anak. Aku pun ngga perlu sampai berubah jadi momster.
Hal lain yang kau pelajari ketika menjadi single mom selama sebulan adalah ternyata aku perlu me time. Aku butuh waktu sendirian dengan duniaku. Memang sih, akhirnya waktu tidurku berkurang, jadi lupa makan, bahkan hingga sakit maagku kambuh lagi. Namun, perasaan bahagia karena kebutuhan mentalku terpenuhi dan rasa lega karena aku bisa menyalurkan unek-unekku ke dalam tulisan, nggak bisa didapatkan kalau aku memperbanyak istirahat. Padahal, perasaan-perasaan positif itu aku perlukan sepanjang hari saat menemani anak-anak.Hal ini terlihat sekali perbedaannya di minggu pertama dan minggu kedua ketika ditinggal suami. Minggu pertama, karena masih penyesuaian, susah sekali buat tidur dan makan, hingga aku memilih menulis berbagai macam hal di blog untuk melepaskan berbagai unek-unek di pikiran. Hasilnya, aku lebih tenang saat menghadapi anak yang mau rewel.
Pada minggu kedua, aku lebih banyak melakukan kegiatan fisik sehingga aku kelelahan. Walhasil, aku lebih mudah tertidur dan gampang laper. Lah dalah, ternyata jadi gampang marah juga. Menyadari ada hal yang salah, aku mulai mengurangi tidur lagi dan kembali menulis untuk melegakan pikiran.
Tapi yaa, kalau udah mulai masuk fase bulanan perempuan, alias PMS, badan gak enak plus mood jelek. Ya udah sih, diapa-apain tetep susah mau rileks wkwk
Bonus: hal seru selama ditinggal suami. Dua anak barengan sakit demam, batuk dan pilek. Pernah juga aku potong rambut mereka berdua (iya, aku potong sendiri pakai mesin cukur) tanpa rewel dan tanpa Youtube! 😂
Tapi yah, selama mereka sakit, semakin rewel mereka (juga tantrumnya Zayn kambuh lagi), semakin aku gak sabar. Ditambah lagi keram perut karena haid. Sebuah kombinasi paripurna untuk menunjukkan betapa aku bukanlah ibu yang sempurna :')
Hubunganku dan Suami Selama Berjauhan
Satu hal yang sempat aku takutkan ketika terpisah jarak dengan suami adalah hubungan kami yang memburuk. Bukan tanpa alasan, aku juga sudah pernah menjalani LDM pada bulan Agustus 2018-Juni 2019. Itu adalah pengalaman paling buruk sepanjang pernikahanku. Kami banyak berkonflik, salah paham, bahkan kami hampir berpikir ini adalah akhir dari pernikahan kami.
Setelah aku pikir-pikir, ada dua penyebabnya. Pertama, kami masih mengalami adaptasi satu sama lain (baru juga setahun menikah). Sifat kami yang kebanyakan bertolak belakang membuat kami memang sering berkonflik, tanpa harus berjauhan. Bedanya, kalau sambil bertatap muka, masalah bisa selesai lebih cepat. Sedangkan saat itu, kami LDM jauh sekali hingga ada perbedaan zona waktu 12 jam!
Kami belum mengalami kestabilan pernikahan yang mana baru kami capai di tahun keempat pernikahan (setelah Zayn lahir). Ini juga yang ingin aku sampaikan ke orang lain yang mau nikah: awal-awal nikah itu berat banget. Iya, sih untuk tiga bulan pertama masih bulan madu, masih manis-manisnya doang yang dilihat. Begitu mulai sadar ada banyak urusan, mulai deh banyak selisih pendapat.
Aku jadi lebih respek ke orang-orang yang memutuskan untuk bercerai di usia pernikahan yang masih seumur jagung. Ya emang, the struggle is real. Harus ada dorongan sangat besar dari kedua belah pihak untuk mau berubah. Entah berubah untuk memenuhi ekspektasi pasangan, berubah lebih legowo menerima kekurangan pasangan, atau berubah menjadi lebih dewasa menghadapi situasi.
Memang, sekali terlewati, betulan berasa kayak badai yang udah lewat. Memang banyak kerusakan yang terjadi, tapi lihat sisi baiknya, kami jadi bisa membangun semua dari awal lagi. Ternyata, hasil bangun ulangnya lebih bagus. Aku dan suami jadi pribadi yang jauh lebih baik dibanding masa itu.
Alasan kedua, dulu aku masih tinggal dengan mertua atau orang tua. Ternyata, pihak luar itu sedikit banyak memberikan pengaruh ke kehidupan pernikahan kami. Wajar lah, namanya orang tua kan jadi ikut khawatir liat anak dan menantunya kok berselisih terus. Jadi yaa, tinggal sendirian itu udah paling enak.
Kayak sekarang ini, aku cuma tinggal sama dua balita. Ketemu temen sesama orang Indonesia juga jarang. Jadi ya, hampir nggak pernah denger slentingan yang nggak enak. Aku tahu banget rasanya tetanggaan sama orang-orang toksik yang hobinya ngurusin rumah tangga orang lain karena begitulah situasi tempat tinggal aku waktu masih kecil.
Banyak pengaruh dari luar yang bisa aku minimalisir. Bahkan karena sendirian di luar negri, aku justru banyak dapet dukungan, baik dari temen sesama orang Indonesia maupun bule yang aku kenal. Sesimpel, "Kalau Mbak Ilma perlu bantuan, kasih tau aja ya!", rasanya udah membantu mengangkat sebagian bebanku sebagai orang tua tunggal untuk sementara waktu.
Hubunganku dengan suami malah makin mesra meskipun berjauhan. Seperti waktu suami baru tiba di Indonesia dan masih kesulitan mencari koneksi internet (ternyata HPnya yang dibeli di sini nggak bisa dipasang SIM card Indonesia), aku sempet ngerasa kangen banget pingin nelpon. Nggak lama setelah aku ngebatin gitu, tiba-tiba ada missed call dari suami.
Kami itu bukan tipe pasangan yang biasa PDA (public display affection-alias berani mesra-mesraan di tempat umum). Bahkan kesannya cuek. Tapi sejak berjauhan, dia terang-terangan pakai lockscreen foto kami berdua dan di share di Instagram story. Betul-betul sesuatu yang langka wkwk.
Akhirnya saatnya aku cerita soal hal-hal yang nggak enak. Ternyata kalau sendirian gini, berat sekali buat menjaga kebersihan rumah dan diri. Rasanya males banget nyuci piring, masak, dan mandi. Ya, mungkin karena nggak ada yang protes.
Juga, ada satu hal yang belum terbayang di pikiranku. Bagaimana seorang single mom harus mengasuh anaknya juga bekerja. Habisnya, aku coba daftar berbagai kesempatan job sebagai blogger, nggak ada yang diterima wkwk. Di situ aku jadi sadar, cari kerja syusah banget, yak. Duh, gimana dengan para single mom di luar sana yang mendadak harus menafkahi anak-anaknya padahal belum pernah bekerja sebelumnya?
Ternyata, pengalamanku menjadi single mom selama sebulan ini belum sebanding dengan para wanita tangguh yang harus mengasuh anak-anaknya sendirian di luar sana. Jelas beda karena aku masih dinafkahi, nggak perlu pusing mikirin harus kerja. Belum lagi menghadapi stereotype ibu tunggal. Jujur, aku salut dengan kalian. Kalian wanita-wanita luar biasa!
In case ada single mom yang membaca tulisan ini, kalau kalian perlu teman bercerita, jangan sungkan, ya! Kalian hebat. Aku doakan semoga ke depannya kalian mendapatkan hal-hal terbaik!
Sukak dengan cerita hikmahnya. Salut aku mbak Ilma bisa tahan jauh Dari suamik. Aku yang udah training berkali-kali failed mulu. Mungkin ini juga akhirnya suami mutusin GA mau kerja ke luar, meski tawaran menggiurkan.
BalasHapusBener banget lho saat lelah dan lapar, bukan cuma anak yang tantrum kita juga bisa tantrum. Makanya suamik wanti-wanti jangan sampai aku lelah, Karena bisa imbas ke anak-anak.
Semangat ya Mama Razin, ditunggu cerita hikmah berikutnya. Mungkin kisah menjemput suami pulkam hihi
Masyaa Allah mba, baca cerita mba Ilma tanpa sadar udah selesai nih.. Sekarang masih sendirian drumah mba? Semangat ya mbaaa.. Kita disini yg walaupun cuma teman online ikut menyemangati mba Ilma sekeluarga..
BalasHapusSalut dgn mba Ilma dgn cerita kesabarannya.. Saya yg masih 1 anak saja harus belajar lg mengelola emosi.. Memang harus dilatih terus menerus deh ya.. Sehat sehat ya mba Ilma dan keluarga.. Ditunggu next ceritanya..
proud of you mbak, anak tantrum dan bisa ditenangkan kuncinya ada di ibuknya ya, strong bgt mbak ILMA, semoga sll diberi kemudahan utk segala aktivitas
BalasHapusBener-bener strong women ya mbak Ilma ini... Pasti peran suami sangat besar ya dalam melatih kekuatan mental seorang istri.
BalasHapusBtw, istilah yang bener: single mom atau single parent, sih?