Belajar Speak-Up
Sebagai salah satu motor dalam suatu komunitas menulis, sudah seharusnya aku bertanggung jawab menghidupkannya. Sayangnya, karena berbagai hal (salah dua alasanku, yaitu tidak kenal banyak anggota dan semua anggota di sana "terlalu kalem"), bukannya berinisiatif, aku juga ikutan pasif. Seandainya aku memertahankan sifat lamaku, aku yakin aku sudah kabur dari grup itu.
Namun, kali ini, aku merasa perlu breaking the cycle. Aku coba ngomong panjang lebar di grup pengurus. Tentang aku yang masih pasif dan ke mana grup ini akan dibawa. Nah, karena didikan suami selama 5,5 tahun lamanya, aku belajar bahwa tidak cukup mengutarakan masalah saja, harus ada saran solusi. Aku beri juga beberapa solusi yang aplikatif.
Tidak disangka, respon dari yang lain sangat positif. Padahal, sebelum aku memberanikan diri ngomong, aku udah pasrah, biarin aja lah kalaupun aku jadi dibenci/malah diabaikan. Ternyata tidak. Masalah itu beneran selesai dan aku bangga menjadi bagian dari grup itu! Kini aku benar-benar memiliki rasa kepemilikan terhadap komunitas ini dan tidak segan-segan aku ingin berinisiatif untuk banyak hal positif lainnya.
Satu lagi komunitas yang aku termasuk pengurus di dalamnya tetapi seperti antara hidup dan mati. Aku mencoba memulai pembicaraan dengan excuse-ku yang kurang bisa aktif, tapi aku tetap menawarkan bantuan jika diperlukan. Beberapa merespon positif, tetapi pemegang kuasanya sedang sangat sibuk. Jadi ya, masih menggantung hehe. Aku ikhlas, yang penting aku sudah coba.
Tahu Batasan Diri
Merasa bisa meng-handle komunitas, sekarang aku juga jadi admin bulanan di komunitas lainnya. Aku mencoba memberi angin segar dengan berinisiatif membuat tantangan. Sayang, tidak ada yang tertarik. Padahal tantangannya ada hadiahnya ;)
Tidak apa-apa. Aku juga harus tahu batasan diriku yang tidak bisa membuat tantangan terkesan sangat menarik atau meng-update secara berkala di lebih dari satu komunitas. Bisa-bisa burn-out.
Ya, itu juga yang terjadi padaku terhadap suamiku. Masalah datang beruntun selama beberapa hari, ditambah aku lelah menyetir membuatku memuntahkan semua amarah kepada suami.
Anehnya, beberapa jam setelah itu kami kembali biasa saja. Kalau aku merefleksikan hal ini dengan pengalamanku di masa lalu, wah, ini sesuatu yang luar biasa. Apakah pernah ada orang yang bisa sanggup menghadapi aku yang marah-marah lalu baik-baik saja?
Paling cuma orang tua dan adik. Itu pun biasanya took time sampai tidak awkward. Mana pernah aku punya sahabat kayak suami gini yang bisa berantem-baikan-saling dukung satu sama lain? Never. He's the first best friend I'd ever had in my entire life! Hubungan yang diisi dua orang yang sama-sama mau struggling untuk terus bersama, duh, ini tuh pertama kalinya aku merasakannya :')
Menahan Diri
Aku tahu bahwa menulis itu healing buatku tapi itu gak boleh jadi pembenaran bagiku buat gossiping the others. Masalah apapun yang aku hadapi, harus aku coba selesaikan dan baru aku tulis hikmahnya tanpa memojokkan satu pihak pun. Curhat tentang diri sendiri juga jangan sampai terlalu malu-maluin lah.
Kan aku sudah berumur ya, tahun depan sudah kepala 3. Saatnya kembali menjadi bijaksana. Selain itu, ini juga latihan. Kalau isi hatinya baik, apa yang keluar juga baik. Selagi masih memerbaiki hati, aku belajar dari luar ke dalam juga. Mencoba menulis hal-hal positif untuk membantu hatiku tetap positif. Yeay!
In the end, proses menjadi dewasa itu proses seumur hidup. Ada kalanya aku harus belajar kembali menjadi versi diriku saat masih anak-anak. Ada kalanya aku harus belajar from scratch. I'm proud to know that I'm learning :)
Warm regards from my-proud-self :)
Posting Komentar
Posting Komentar