Aku bersyukur tinggal jauh, punya dua anak, dan berjodoh dengan pria ini. Inilah jawabanku untuk tantangan pertama 21 Hari Membangun Habit Menulis bersama Pak Cahyadi dan Bu Ida.
Pindah ke Negara Asing
Aku pindah ke Amerika Serikat sejak September 2019. Awalnya, aku belum merasa nyaman tinggal di sini. Jauh dari keluarga, belum bisa memasak masakan Indonesia, hingga kurangnya rasa percaya diri dalam mengasuh anak adalah beberapa alasannya.
Saat itu, aku pun masih dalam fase adaptasi dengan suami. Kami baru menikah 2.5 tahun dan kami tidak pernah berpacaran sebelum menikah. Masih banyak puzzle tentang kepribadian suami yang perlu aku pecahkan.
Mulai dengan tinggal di sepetak apartemen yang sempit bersama suami dan anak 1.5 tahun. Aku pun masih belajar cara bersosialisasi dengan orang asing, meskipun sedikit banyak aku tahu soal Bahasa Inggris.
Lima bulan sudah kami tinggal. Di luar rencana kami, Allah swt kembali titipkan janin di rahimku. Kami pikir, bisa saja kami mendatangkan salah satu orang tua kami ketika aku lahiran untuk membantu. Nyatanya, pandemi datang dan mempersulit perjalanan antar negara.
Bulan September 2020 lahir anak kedua kami. Kami kembali belajar menjadi orang tua dari bayi baru lahir. Aku belajar membagi waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah, melayani suami, dan mengasuh dua anak tanpa bantuan baby sitter maupun keluarga. Tidak ada satupun keluarga kami yang datang ke sini untuk membantu.
Di antara semua tantangan itu, aku bersyukur bisa tinggal di negeri yang jauh ini. Aku belajar menjadi mandiri karena sejak kecil hingga menikah, aku belum pernah tinggal sendiri.
Tinggal di luar negeri juga merupakan salah satu cita-citaku sejak kecil. Aku ingin melihat dunia dan punya pengalaman yang berbeda dengan orang tua. Alhamdulillah, Allah mudahkan keinginan ini melalui suami yang sedang menjalani sekolah ak.
Dikaruniai Dua Anak
Pada awal pernikahan kami pada tahun 2017, kami belum merencanakan punya anak secepatnya. Masalahnya, kami masih tinggal berpindah-pindah dan suami pun belum punya penghasilan yang tetap.
Waktu itu, suami sedang fokus dengan persiapannya untuk sekolah di luar negri. Tanpa disangka, Allah menakdirkan hadirnya buah hati di antara kami. Awalnya, kami pikir waktunya kurang pas karena anak kami lahir sebulan sebelum keberangkatan suami. Mau tidak mau, aku tetap tinggal di rumah mertua dan suami sendirian pergi ke Amerika.
Selama menjalani pernikahan jarak jauh, kami sering mengalami salah paham. Masa-masa itu terasa sulit meskipun aku mendapatkan banyak sekali bantuan mengasuh anak dari ibu mertua.
Hingga datang saatnya kami bersama kembali. Saat itu barulah aku merasa keluarga kami lengkap. Ada anak yang lucu, ada suami di sisiku, dan suamiku ikut andil secara fisik dalam mengasuh anakku.
Aku sudah merasa lengkap. Tak disangka, anak kedua lahir ketika usia anak pertama baru menginjak dua tahun. Lagi-lagi, awalnya aku merasa waktunya kurang tepat karena anak pertama kami menjadi luar biasa rewel dan sulit dikendalikan. Aku merasa lelah pikiran.
Meskipun begitu, seiring berjalannya usia, ternyata kedua kakak beradik itu jadi teman bermain yang sangat akrab. Sang kakak tampak mengayomi adiknya, juga sang adik sangat suka bermain bersama kakaknya. Aku tidak menyangka kalau jarak usia yang dekat membuat mereka seperti tidak terpisahkan.
Aku bersyukur, ternyata takdir Allah tidak pernah salah waktu. Dari dua kejadian hadirnya anak-anak kami, Allah ingin kami mengambil hikmah dan pelajaran penting. Bahwa kadang kami harus mengalami hal sulit sebelum kemudahan.
Berjodoh dengannya
Aku tidak pernah menyangka akan menikah dengan laki-laki ini. Dulu kami hanya saling kenal karena pernah satu kelas dalam satu mata kuliah. Setelah itu, kamu bahkan tidak pernah bertemu langsung, hanya pernah berkirim pesan melalui Facebook Messenger.
Di akhir masa perkuliahan, saat itu aku sedang dekat dengan seorang laki-laki. Ternyata, orang tuaku tidak setuju kalau aku menikah dengannya. Di saat itu juga aku dapat kesempatan untuk pergi ke Korea untuk pertukaran pelajar. Namun, aku perlu banyak info dari orang yang berpengalaman.
Tiba-tiba saja aku ingat dengannya. Namanya Daniar. Aku ingat dia sering pergi ke luar negeri untuk pertukaran pelajar ataupun riset. Aku mulai percakapan kembali lewat Facebook Messenger setelah beberapa tahun tidak pernah berbincang.
Pada akhirnya, aku tidak jadi berangkat ke Korea. Namun, tak lama, ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Cukup kaget karena kami baru intens berkomunikasi dalam sebulan terakhir. Hanya butuh waktu 3 bulan kemudian, kami resmi menjadi suami istri.
Aku bersyukur, proses pernikahan kami terbilang cepat dan tanpa pacaran. Aku juga bersyukur, ternyata, doa-doa kecil dan harapan-harapan yang dulunya aku ucapkan dalam hati ternyata dikabulkan oleh Allah melalui dirinya.
Dulu, aku selalu menginginkan punya suami yang cerdas dan punya tipe perawakan tertentu. Ternyata, Allah menjodohkan aku dengan seseorang yang suka belajar hingga ke luar negeri. Fisiknya bahkan sesuai dengan bayanganku.
Aku bersyukur menjadi istrinya karena ia adalah sahabat pertamaku yang mau membersamaiku meskipun kami sering bertengkar, lalu ia kembali bersikap baik padaku. Juga, ia selalu menginginkan aku menjadi pribadi terbaikku. Ia selalu mendorongku untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Ah, mengingat ketiga nikmat ini sungguh membuatku merasa Allah swt sangatlah dekat. Ia mengabulkan sekecil apapun harapan yang pernah terlintas dalam pikiranku. Itulah cara-Nya menunjukkan kepadaku bahwa cinta-Nya amatlah besar.
Potret keluarga kecil kami. Dokumentasi pribadi. |
Total waktu: 27 menit. Jumlah kata: 815
Posting Komentar
Posting Komentar