Disclaimer: tulisan ini bukan untuk membanding-bandingkan, karena kata Denny Caknan: Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, Saing-saingke yo mesti kalah. Yang baca sambil nyanyi, auto kalah :p
Oke, kali ini kita mau adain challenge: "Battle Antara Orang Kota dengan Masyarakat Adat". Setiap pihak yang berhasil memenangkan satu kategori akan mendapatkan satu nilai. Nilai yang tertinggi-lah yang akan memenangkan tantangan ini. Kalian siap?
Host: Halo! Aku Ilma yang akan menjadi host dari tantangan ini. Di sini sudah ada Shanty dari Jakarta yang menerima tantangan sebagai orang kota. Silakan perkenalkan diri kamu.
Shanty: Gue Shanty, usia 29 tahun. Kerja kantoran. Gue menjalani hidup yang sustainable. Tinggal di apartemen eco living di daerah pancoran. Makanan gue semua yang organik. Gue bawa-bawa tumblr sama tempat makan berbahan kaca di dalem shopping bag kain yang reusable. Semua barang elektronik yang gue beli harus memenuhi standar sustainable kayak hemat energi dan bahan-bahannya bisa didaur ulang. Gue juga pisahin sampah organik dan anorganik. Kosmetik dan skincare yang gue pake harus organik, cruelty-free, dan 100% recyclable packaging. Terus...
Host: Oke, oke. Cukup, terima kasih Shanty si paling eco friendly. Nah, jadi di sini aku bakal kasih 3 pertanyaan, kamu cukup jawab sesuai kebiasaan kamu aja, ya. Nanti kita bandingin sama jawaban temen-temen kita yang tinggal di Masyarakat Adat. Kamu siap?
Shanty: Siap, lah! Siapa takut!
1. Perbandingan Makanan Orang Kota dan Masyarakat Adat
Host: Kategori pertama, soal makanan. Coba Shanty ceritakan, apakah makanan kamu sehat?
Shanty: Jelas sehat, lah! Gue cuma beli dari store yang organik. Sebisa mungkin gue masak sendiri jadi tau komposisinya. Gue contohin pagi ini, ya. Tadi pagi gue masak grilled salmon with asparagus. Terus makan buah stoberi organik dan minum infused water pakai lemon. Ini di tas gue udah bawa makan siang salad isinya tomat, selada, keju feta organik, olive oil, ...
Host: Oke, oke. Cukup dulu. Kalau minum, air keran atau beli air mineral?
Shanty: Oh, di apartemen gue airnya siap minum, dong. Kan udah melewati proses reverse osmosis. Kalau lagi di luar dan kepepet, baru beli air minuman kemasan.
Host: Terus, pas kemarin pandemi kan supermarket tutup tuh, Shanty makannya gimana?
Shanty: Ya, gue waktu itu makan seadanya. Sempet nunggu kiriman bantuan dari kantor juga. Tapi kebanyakan makanan kaleng sama mi instan.
Host: Wah, jadi sempat tidak sehat, ya? Ya udah. Sekarang kita simak tanggapan dari Pak Wayan, dari Masyarakat Adat Peladung, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali.
Pak Wayan: Makanan kami memang sederhana, tapi kami menanamnya sendiri. Ada padi, ubi jalar, ubi kayu, jagung. Kami bisa pastikan apa yang kami tanam itu baik dan sehat untuk dimakan. Jadi, kami tidak takut kehabisan bahan makanan. Waktu pandemi kemarin, kami masih bisa makan makanan dari ladang.
Kalau air minum, kami punya empat sumber mata air karena tempat tinggal kami berada di antara kaki Gunung Abang dan Gunung Agung. Airnya bersih. Sayangnya, kami sempat punya konflik dengan perusahaan air mineral yang mengebor air dari salah satu mata air tadi. Tempat pengeborannya dekat dengan sawah kami. Kami khawatir bisa mengurangi suplai air ke ladang kami.
Host: Wah, ternyata Masyarakat Adat justru hidupnya lebih sustainable, ya. Buktinya, kondisi krisis seperti waktu pandemi kemarin, mereka tetap bisa makan dan tidak bergantung kepada siapapun. Terus, nah loh, air minum yang Shanty konsumsi berarti bisa jadi dari sumber mata air tempatnya Pak Wayan, dong? Shanty bisa produksi makanan dan air mineral sendiri, gak?
Shanty: ๐
Ting tong ting tong! Masyarakat Adat dapat 1 poin!
2. Perbandingan Kontribusi Orang Kota dengan Masyarakat Adat dalam Menjaga Bumi
Host: Kategori kedua nih, isu yang lagi hangat. Soal masalah pada bumi kita. Perubahan iklim dan kerusakan bumi. Kita juga sudah merasakan sendiri dampaknya seperti cuaca ekstrem. Nah, ini juga, kan yang menjadi landasan kenapa Shanty memutuskan menjalani eco living. Sekarang coba ceritakan kontribusi apa saja yang sudah Shanty lakukan?
Shanty: Gue pastinya beli produk yang eco-friendly dan berusaha semaksimal mungkin gak ngehasilin sampah yang tidak terurai. Gaya hidup gue juga mendukung lingkungan kayak hemat listrik, air, dan bensin. Gue juga suka ikut kampanye lingkungan hidup di kantor atau lembaga lain.
Host: Keren nih, Shanty! Sekarang kita simak dulu tanggapan dari Puang Mengga, dari Masyarakat Adat Karampuang terletak di Desa Tompobulu Kecamatan, Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Puang Mengga: Saya sangat menantikan disahkannya hutan adat ini oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Karena ini adalah hak kami sebagai penjaga hutan.
Untuk mengelola hutan, kami punya prinsip mappakalebbi ale’ atau menghargai dan menghormati hutan, mappatau ale’ atau memanusiakan hutan, makkamase ale’ atau kasih sayang hutan, serta tuo kamase ale’ atau prinsip hidup selaras dengan alam. Seluruh warga bertugas dan bertanggung jawab penuh untuk memelihara dan menjaga kelestarian hutan seperti menjaga keluarga, sebab kalau hutan rusak maka warga pun akan celaka.
Kami tetap bisa memanfaatkan hutan, tetapi harus seizin pemangku adat, untuk kebutuhan sendiri (tidak untuk dijual), dan mengikuti sejumlah aturan. Kalau melanggar, ada sanksi pengucilan, tidak akan mendapatkan pelayanan adat.
Host: Wah, ini lebih keren! Masyarakat adat yang tinggal sangat dekat dengan hutan memberikan partisipasi aktif dalam menjaga kelestarian hutan. Karena hutan itu paru-paru bumi. Berarti dengan menjaga hutan saja sudah menjaga bumi. Btw, Shanty pakai minyak goreng, gak?
Shanty: Jarang banget goreng-gorengan. Gak sehat.
Host: Bagus dong, berarti membantu menjaga lingkungan. Eh tapi Shanty tau gak, kalau minyak sawit, yang biasa dikira orang cuma jadi minyak goreng, ada juga lho di bahan kosmetik kayak lipstick.
Shanty: ๐คจ
Host: Nah, Shanty perlu tahu juga nih, kalau ada Masyarakat Adat yang struggling dalam mempertahankan hutan adatnya karena diambil sama perusahaan minyak sawit. Yuk, kita simak paparan dari Daud Lewing, dari Masyarakat Adat Modang Long Wai di Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim).
Sumber: https://regional.kompas.com/image/2021/03/09/085800978/13-tahun-perjuangan-warga-dayak-modang-lai-kalimantan-cari-keadilan-tanah?page=4 |
Daud Lewing: Team entoa noaq, team entoa peloaq nyeuin tenoaq. Han newauq, team entoa peloag ngenoaiq tenoaq. (Terjemahan: kita tidak bisa membuat tanah, kita tidak bisa menanam tanah supaya menjadi tanah. Kita tidak bisa melahirkan tanah.) Seandainya kita bisa menanam tanah atau manusia bisa melahirkan tanah, kami tidak perlu memusingkan perusahaan sawit itu.
Awal mula masalah ini karena perusahaan sawit (salah satunya PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA)) dapat izin lokasi tahun 2006. Dari 14 ribu hektare, ada 4 hektare tanah kami yang masuk. Dua tahun kemudian, perusahaan membuka, membersihkan lahan, lalu menanam sawit, di atas lahan kami tanpa izin.
Kami sudah kirim surat ke bupati, dinas terkait, tidak ada jawaban. Kami datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Kami justru diminta menjadi mitra perusahaan. Kami tidak rela!
Kami buat aksi damai, tutup akses jalan hanya untuk kendaraan perusahaan. Saya ditangkap.
Sulit masuk ke hutan (wilayah adat) untuk berburu, mencari tumbuhan obat, atau mencari kayu. Kalau kami ketahuan masuk hutan, kami selalu diusir oleh perusahaan. Mereka bilang kami masuk area perkebunan sawit perusahaan.
Kami sudah kirim surat ke bupati, dinas terkait, tidak ada jawaban. Kami datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Kami justru diminta menjadi mitra perusahaan. Kami tidak rela!
Kami buat aksi damai, tutup akses jalan hanya untuk kendaraan perusahaan. Saya ditangkap.
Sulit masuk ke hutan (wilayah adat) untuk berburu, mencari tumbuhan obat, atau mencari kayu. Kalau kami ketahuan masuk hutan, kami selalu diusir oleh perusahaan. Mereka bilang kami masuk area perkebunan sawit perusahaan.
Host: Duh, sedih ya. Padahal itu kan hak mereka. Lagipula, kalau perusahaan sawit menggunakan lahan, cenderung serakah demi menggerakkan roda ekonomi. Kalau Shanty ikut kampanye soal lingkungan, topik ini dibahas juga, gak?
Shanty: ๐
Ting tong ting tong! Masyarakat Adat dapat 1 poin lagi!
3. Perbandingan Interaksi Orang Kota dan Masyarakat Adat
Host: Hehe, jangan ditekuk gitu dong, wajahnya. Ini kategori terakhir. Shanty tinggal di apartemen sendirian?
Shanty: Iya, gue sendiri.
Host: Kenal sama tetangga sebelah apartemen?
Shanty: Kagak.
Host: Kalau lagi bosen sendirian biasanya ngapain?
Shanty: Paling chat temen-temen, ajak hangout. Atau video call sama Mami yang tinggal di Surabaya. Ah, gue biasanya ngabisin waktu buat nonton drama atau main game di kamar.
Host: Nah, ini aku ada contoh kehidupan yang bisa harmonis di satu rumah dengan banyak keluarga, yaitu di Rumah Betang, rumah adat Masyarakat Adat Dayak. Salah satu lokasinya di Dusun Rentap Selatan, Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Sintang, Kalimantan Barat.
Rumah ini berukuran panjang 116 meter dan lebar 18 meter dan ditopang kayu-kayu setinggi hampir dua meter. Jadi, kayak panggung.
Ada 28 pintu yang membagi 28 bilik rumah. Di rumah sebesar ini dihuni oleh banyak keluarga dengan ruang bersama dan ruang privat.
Rumah seperti itu bukan hanya berfungsi melindungi penghuninya dari cuaca, binatang buas, atau berbagai bentuk ancaman lainnya. Ada pesan penting yang diwariskan untuk generasi selanjutnya, yaitu perbedaan bukan penghalang. Semua orang harus tetap hidup rukun dan damai. Mereka diharapkan saling jaga persatuan dan selalu menggunakan musyawarah untuk menghadapi segala hal.
Rumah ini berukuran panjang 116 meter dan lebar 18 meter dan ditopang kayu-kayu setinggi hampir dua meter. Jadi, kayak panggung.
Ada 28 pintu yang membagi 28 bilik rumah. Di rumah sebesar ini dihuni oleh banyak keluarga dengan ruang bersama dan ruang privat.
Rumah seperti itu bukan hanya berfungsi melindungi penghuninya dari cuaca, binatang buas, atau berbagai bentuk ancaman lainnya. Ada pesan penting yang diwariskan untuk generasi selanjutnya, yaitu perbedaan bukan penghalang. Semua orang harus tetap hidup rukun dan damai. Mereka diharapkan saling jaga persatuan dan selalu menggunakan musyawarah untuk menghadapi segala hal.
Nah, di ruang bersama tanpa sekat dari ujung ke ujung rumah ini jadi tempat berbagai kegiatan, salah satunya menenun dan menganyam. Ibu-ibu membuat tenun ikat dan bapak-bapak membuat bubu, menganyam tikar, juga beragam produk kerajinan lain.
Namun, pemerintah berencana merenovasi rumah ini dengan memindahkan setiap keluarga ke rumah petak. Warganya menolak karena kalau pindah, suasananya berubah, hingga adat-istiadat di sini terancam hilang.
Rumah ini bukan hanya hunian dalam bentuk fisik, melainkan jadi rumah bagi tradisi, pengetahuan, pemersatu, dan ada ikatan batin yang kuat antara hunian dan penghuninya.
Sumber: https://regional.kompas.com/image/2022/11/30/165044178/rumah-betang-rumah-adat-kalimantan-ciri-ciri-fungsi-dan-makna?page=1 |
Kira-kira kalau Shanty disuruh pindah dari apartemen, dikasih ganti rumah, mau gak?
Shanty: Ya, mau-mau aja, sih.
Host: Itulah bedanya rumah adat dan rumah lainnya. Rumah adat ini menjadi identitas penghuninya. Ini juga sebabnya mereka disebut sebagai Masyarakat Adat, yaitu sekelompok manusia dengan ikatan geneologis dan/atau teritorial yang menyejarah, turun temurun lintas generasi, memiliki identitas budaya yang sama dan memiliki ikatan batiniah yang kuat atas suatu ruang geografis tertentu sebagai "rumah bersama" yang dikuasai, dijaga, dan dikelola secara turun temurun sebagai wilayah kehidupan dari leluhurnya.
Ibaratnya, kita mengambil isi kura-kura dari cangkangnya. Kura-kura itu langsung mati karena sistem sarafnya nempel di cangkang. Begitu juga dengan tanah adat dan rumah adat. Ketika dirampas, hilang sudah masyarakat adat itu.
Itu sebabnya, logis kan, kalau kita bilang masyarakat adat itu kunci pelestari bumi karena di mana bumi dipijak, itu adalah bagian dari diri mereka. Mereka merawat alam sama seperti merawat dirinya sendiri.
Mereka itu the real penganut sustainable living. Mereka bisa bertahan dalam berbagai krisis. Mulai dari jaman penjajahan, jaman orde baru yang serba mengerahkan sumber daya, krisis ekonomi, hingga pandemi kemarin.
Kota itu simbol dekadensi.~Kak Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Masuk akal sekali karena orang kota itu bergantung banyak hal dari Masyarakat Adat. Bahan pangan, dari hasil pertanian Masyarakat Adat. Oksigen yang kita hirup, dari hutan yang dijaga Masyarakat Adat. Tempat wisata yang indah juga karena mereka yang rawat. Belum lagi makanan enak hasil olahan tangan mereka, hasil kerajinan, dan keseniannya.
Ting tong ting tong! Masyarakat Adat dapat 1 poin lagi! Menang telaak!
Gimana udah setuju kalau Masyarakat adat itu lebih maju daripada orang kota?
Shanty: Iya, deh ๐
Host: Nah, sekarang, karena kita bergantung sama Masyarakat Adat, setidaknya kita berkontribusi untuk menjamin kehidupan yang layak buat mereka. Pertama, kita kawal pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kedua, kita sebarkan informasi tentang mereka di media sosial yang kita miliki. Terakhir, yuk, jadi bagian dari orang-orang yang tidak terjebak stigma bahwa Masyarakat Adat itu terbelakang. Kita utang budi lho, sama mereka!
Btw, kalau anggota Masyarakat Adat ada yang sakit, pasti cepat ketahuan karena punya interaksi yang erat. Lah, kalau Shanty lagi sendirian di apartemen, misalnya tiba-tiba sesak nafas, serangan jantung, atau kena stroke, siapa yang bisa cepat menolong?
Shanty: Amit-amit, ih! ๐
#EcoBloggerSquad
Sumber:
https://balebengong.id/peladung-jejak-mekanisme-adat-menolak-investasi/
https://www.kemitraan.or.id/blog/menjaga-hutan-menjaga-kehidupan-masyarakat-adat-karampuang
https://betahita.id/news/detail/6526/jalan-sunyi-perjuangan-dayak-modang-long-wai-desa-long-bentuq.html?v=1631780756
https://www.aman.or.id/story/betang-ensaid-panjang:--rumah-pengetahuan-leluhur-terakhir-yang-terancam-hilang
Posting Komentar
Posting Komentar