1. Cita-cita Anak 4 Tahun
Sejujurnya aku masih gak percaya, paham apa yang sih yang pernah ditanamkan Papaku? Atau cerita semenarik apa yang pernah beliau ceritakan? Kalau aku ditanya udah gede cita-citanya mau jadi apa, aku sudah bisa jawab cita-citaku adalah menjadi insinyur elektro. Like, kenapa gak dokter atau polisi yang kerjaannya kan keliatan? Wkwk
Padahal, sejak dulu yang aku tahu, Papa yang seorang insinyur elektro kerjanya ya, pergi ke kantor pagi-pagi, terus pulang sore. Sering juga Papa pergi ke luar kota karena urusan kerjaan. Dulu, aku sering nanyain, menunggu beliau pulang. Hingga aku tumbuh menjadi remaja, aku tidak lagi menunggunya pulang, tetapi kerap menyalahkannya yang jarang ada di rumah. Aku merasa kehilangan sosoknya. (Maaf, Pah!)
Fast forward 14 tahun kemudian, Papa mengantarku ke depan gedung Labtek VIII untuk pertama kalinya setelah aku tahu aku diterima di ITB melalui jalur SBMPTN Undangan. Memandang tulisan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) di gedung itu aja bikin aku merinding. Dulu aku masih denial karena waktu SMA aku justru ngebet pingin kuliah jurusan lain. Tapi di satu sisi, gak nyangka juga, mimpi bocah itu jadi kenyataan.
2. Cita-cita Anak SD
Waktu SD, aku ingat dulu masa-masanya berbangga punya binder berisi kertas-kertasnya yang cantik. Kegiatan bersama binder itu kalau gak tukeran kertas yang cantik, berarti saling mengisi binder dengan biodata diri. Kalau diingat-ingat, binder ini udah mirip media sosial, ya.
Isi biodata itu mulai dari nama, tempat tinggal, nomor telepon, cita-cita, makanan dan minuman favorit, artis idola, lagu yang di sukai, hingga memecah huruf nama pertama si pemilik binder jadi kata atau frasa yang lucu. Tentu saja, di bagian "cita-cita" aku akan selalu memasukkan "insinyur elektro" di dalamnya.
Alhasil, teman-temanku jadi bertanya tentang cita-cita yang kurang populer itu. Yah, aku jelasin ala anak SD aja. Nah, zaman itu kan ada juga sinetron religi yang nge-hits, judulnya Lorong Waktu. Aku tuh sampai berapi-api (melewati batas excited) dengan bilang, kalau nanti aku udah gede dan jadi insinyur elektro, aku mau buat mesin waktu!
Pokoknya waktu itu aku kekeuh pingin jadi peneliti yang bisa bikin mesin waktu. Aku merasa pekerjaan seorang profesor yang meneliti di lab pribadinya itu keren puol. Oh, mungkin juga karena aku pengemar "Detective Conan". Aku terkesan dengan alat-alat yang diciptakan Profesor Agasa.
Turns out, aku kan menyerah dengan cita-cita menjadi insiyur elektro di masa SMA. Lalu, sekalipun akhirnya beneran sekolah di Teknik Elektro, aku jalani dengan setengah-setengah. Eh, ternyata, 11 tahun kemudian, sejak aku terakhir kali dengan pedenya ngomong ke temen-temenku aku pingin jadi peneliti, aku malah menikah dengan seorang peneliti!
Yah, memang dia bukan peneliti yang ngerjain sesuatu di lab dan buat alat-alat fisik atau nyampur-nyampur bahan kimia. Wong laboratoriumnya cukup sebuah laptop yang bisa dia bawa ke mana aja. Ngerjain penelitiannya kan cukup di meja kerja di sudut ruangan. Tapi, dia punya "jiwa" seorang peneliti yang dulu pas aku SD, betul-betul aku dambakan.
Dia punya semangat untuk ngutak-atik sesuatu sesuai keinginannya bahkan sejak masih belia. Waktu masih S1 aja dia udah punya dua paper pribadi yang diterima di conference. Padahal, temen-temen sejurusanku yang pinter-pinter aja kayaknya gak ada yang punya paper.
Cita-citaku jadi peneliti memang gak terkabul di diri aku (atau jangan-jangan belum terkabul? 😉) tapi dengan menikahi seorang researcher aja aku udah merasa ada satu lagi cita-cita masa kecilku yang jadi nyata.
3. Keinginan Jadi Anak Aksel
Duduk di bangku SMP, aku tidak pernah "keluar" dari 3 peringkat teratas di kelas. Merasa pintar, tentu aku berusaha ingin masuk SMA terbaik di kotaku. Waktu itu, untuk masuk SMA 3 kelas RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), ada ujiannya. Sayangnya, aku gak lolos.
Kekeuh, aku coba peruntunganku dengan jalur nilai ujian nasional. Bersyukur masih lolos meskipun masuk 30 terbawah. Oh, tapi aku masih haus dengan tantangan. Masuk SMA terbaik aja gak cukup karena di sekolah ini ada kelas akselerasi. Pasti aku jadi keren banget kalau SMA-nya cuma 2 tahun.
Cus lah aku ikutan tesnya yang isinya psikotes. Sayang banget, hasilnya 128 padahal minimumnya 130 (yang mana setelah aku kelas 2 atau 3 dan ikutan psikotes lagi, hasilku bisa di atas 130! Sebel ... )
13 tahun berlalu. Aku baru beres ngedaftarin anak pertamaku yang usianya baru mau 5 tahun ke Kindergarten di sini. Karena di sekolah lamanya kemungkinan besar bakal masuk waiting list, aku coba daftar ke dua sekolah lainnya, salah satunya di jenis kelas gifted center. Ada tesnya, semacam psikotes atau tes potensi akademik gitu.
Waktu itu, aku cuma bawa anakku ke tempat tes tanpa persiapan apapun. Aku lupa gak nyari dulu soalnya di internet, pokoknya cuma dateng. Lah, ternyata anakku lolos dong :') Tanggal 2 Mei kemarin, aku baru dateng ke sekolahnya untuk tur. Di sana baru dijelaskan gamblang, apa itu gifted center yang ternyata, si anak bakal diajarin dengan pelajaran minimal satu tahun di atasnya. Apalagi dong, kalau bukan kelas akselerasi?
Ya ampun, aku tahu, ini kedengeran ambis banget. Masa iya anak TK di kelas akselerasi? Tapi jujur, ini juga gak terduga. Kan niat awalnya daftar banyak sekolah biar keterima di salah satu sekolah. Tesnya aja gak pakai persiapan. Aku jadi curiga, anak ini jangan-jangan memang menyimpan kemampuan tertentu.
Tapi, di sisi lain ... aku kok gak nyangka, dulu hal yang aku bener-bener pinginin pas SMA, bisa merasakan kelas akselerasi, ternyata malah dikabulkan di anakku. Sedikit banyak, aku juga bakal ikut tahu rasanya di kelas aksel karena aku harus nyiapin dia biar gak kaget. Lah, selama ini di Pre-Kindergarten, dia banyaknya main. Ntar pas Kindergarten, mendadak dia belajar pelajaran anak kelas 1 di usia 5 tahun kan aku ikutan panik, yak wkwk
4. Keinginan Punya Adik Laki-Laki
Waktu usiaku sekitar 4 tahunan, Mamaku mengandung adik. Waktu itu, entah kenapa, aku ingin sekali adik laki-laki. Yah, ada sedikit rasa kecewa begitu tau adik yang baru saja dilahirkan ternyata perempuan.
Ditambah lagi, Mama sering cerita kalau beliau pernah keguguran waktu usiaku dua tahunan. Beliau sering berandai-andai, seandainya saja bayi itu sampai lahir, mungkin jadinya anak laki-laki.
Aku ingat, aku dulu suka sekali dengan anak laki-laki kecil. Mungkin naluri keibuanku sudah ada sejak SMP. Aku pernah momong saudara sepupuku yang jarak usianya jauh, mungkin waktu itu dia masih 3 tahunan. Meskipun cuma sehari, aku seneng banget nemenin dia berenang, ngegandeng waktu jalan, dan ngajakin main game di komputer.
Sampai, pas aku udah nikah dan lagi dalam perjalanan nyusul suami ke Eropa, ada balita cowok yang lucu banget. Mana dia senyum-senyum ke aku dari kursi dua baris di depanku. Waktu itu aku sampai kepingin punya anak cowok.
Beneran ternyata tahun depannya aku dikasih anak cowok! Dua tahun kemudian dikasih anak cowok lagi! Wah, ini kan sesuai keinginan masa kecilku, punya adik cowo yang jarak usianya dua tahun. Tuh, langsung dikasih dua anak cowok yang jarak usianya dua tahun. Wkwk
5. Ingin Tinggal di Luar Negeri
Entah berapa kali Mama bercerita tentang pengalamannya tinggal di Australia. Cuma 1.5 tahun lamanya, waktu itu aku berusia 6 bulan sampai 2 tahunan. Namun, sepertinya pengalaman itu begitu berkesan baginya hingga tak bosan ia ceritakan terus menerus.
Karena hal itu lah, aku jadi bercita-cita ingin tinggal di luar negeri. Terutama karena sebetulnya waktu itu Papa punya kesempatan membuat keputusan untuk terus tinggal di sana, tak perlu pulang ke Indonesia. Namun, somehow, beliau memilih pulang ke tanah air. Hal itu sama-sama aku dan Mama sesalkan.
Setiap kali aku melewati bandara atau pergi ke bandara untuk menjemput atau memang pergi ke bandara untuk naik pesawat ke suatu tempat, diam-diam hati kecil ini berharap suatu saat nanti orang tuaku akan melepasku pergi ke luar negeri. Harapanku sebetulnya, aku bisa pergi ke luar negeri karena alasanku sendiri (sekolah atau kerja), bukan karena menemani suami.
Well, ternyata keinginanku ini juga terwujud. Sudah lebih dari 3,5 tahun aku tinggal di luar negeri dan belum ada tanda-tanda bisa pulang kampung wkwk. Yah, walaupun akhirnya alasan aku di luar negeri karena suami, tapi ini masih bisa dihitung satu cita-cita kecilku yang akhirnya terwujud :)
Ternyata tinggal di luar negeri ini juga solusi atas kegelisahanku selama sekolah. Pasalnya dulu aku heran kenapa gak bisa menjalin hubungan pertemanan jangka panjang. Seringnya, aku dilupakan begitu mudah oleh orang-orang yang aku rasa dekat.
Setelah tinggal di luar negeri, teman-teman yang datang kan silih berganti setiap tahun. Yaa, jelas aku nyaman lah. Berteman secukupnya wkwk
6. Menikah Tanpa Pacaran
Waktu tahun kelima kuliah, aku masih berjuang menyelesaikan tugas akhirku. Meskipun stres mikirin TA yang bikin pusing, aku masih sempet mikirin pingin nikah. Ya mau gimana lagi, waktu itu udah punya pacar yang katanya siap nikahin tapi gak kunjung melamar. Padahal udah lulus dan udah kerja juga. Ketemulah aku dengan YouTube Teladan Cinema dengan proyeknya Cinta Positif.
Di video series itu diceritakan dua insan muda mudi yang kenal karena tergabung dalam satu kegiatan di kampus yang sama. Diam-diam mereka saling memiliki rasa tapi mereka memutuskan untuk tidak pacaran dan memantaskan diri mereka masing-masing.
Si cowok pergi ke Singapura untuk lanjut sekolah. Pas lulus, dia ingat sama cewek yang disukai dulu. Akhirnya dia pulang dan langsung ngelamar ke orang tua si cewek. Uwu ... cute banget. Aku tuh gemes pingin diginiin juga.
Eh, ternyata beneran kejadian haha (terharu). Sebenernya suami pernah semacam menyatakan rasa suka pas tahun kedua kuliah. Lalu dia menghilang. Rupanya, dia sebetulnya memang suka, tapi gak berani juga mau ngelamar karena merasa belum punya apa-apa.
Selama dua tahun lebih, dia berkali-kali ke luar negeri untuk riset maupun student exchange. Menghasilkan beberapa paper. Bahkan melakukan riset jarak jauh dengan profesor dari University of Chicago untuk meningkatkan kesempatan bisa lanjut sekolah di Amerika.
Cukup 4 kali ketemu fisik sampai akhirnya suamiku ke rumahku untuk pertama kalinya dan langsung melamar. Sekilat itu! Kami bahkan menikah tiga bulan setelahnya.
Menurutku, kisah cinta di serial video itu realistis. Bukan ta'aruf yang strict banget gak kenal sama sekali. Tetapi, dua orang yang saling kenal karena interaksi yang wajar. Lalu, mereka memilih untuk meningkatkan kapasitas diri ketimbang mengikatkan diri dengan pasangan yang belum tentu jadi suami istri atau saling menunggu tanpa kepastian. Dan ternyata, detailnya memang mirip kisah cintaku hihi
7. Menerapkan Tipe Parenting Tertentu
Waktu masih sekolah, aku emang udah sering berkomentar soal cara parenting orang lain dan sistem di sekolah yang menurutku banyak kelemahannya. Aku sampai di titik pingin ngajarin sendiri anakku. Turns out, aku tinggal di negeri dengan minoritas muslim, sehingga gak bakalan ada pelajaran agam di sekolah negeri. Mau gak mau, aku lah yang bertanggung jawab mengajarkan anak-anakku soal Agama Islam.
8. Tidak Mau Menjadi Ibu Rumah Tangga Saja
Mamaku seorang ibu rumah tangga full time tanpa sampingan apa-apa. Kadang, dari cara beliau bercerita, sebetulnya ada penyesalan kenapa Papaku tidak mengizinkan Mama untuk berkarya di luar. Jadi, wkatu aku masih single, aku kepingin banget bisa kerja dan gak mau jadi ibu rumah tangga doang.
Kenyataannya, keadaan saat ini sulit. Aku tinggal di luar negeri dengan visa spouse pelajar tanpa izin bekerja. Sebenernya ada satu jenis visa lagi yang mengizinkan spouse untuk bekerja. Sayangnya, ada banyak hal lain yang harus kami korbankan, seperti ada syarat pulang ke Indonesia selama dua tahun sebelum boleh tinggal di US lagi, juga persyaratan wajib membeli asuransi kesehatan untuk pasangan pelajar. Intinya kami keberatan. Kami memilih jenis visa yang memberikan banyak kebebasan buat suami tapi aku gak dapat izin kerja.
Ternyata, gak seburuk itu, kok. Aku masih bisa kerja jadi freelancer yang kadang-kadang ngambil job nulis di blog. Aku bisa menikmati apa yang aku kerjakan (hobi yang menghasilkan pendapatan), juga tidak terlalu banyak menyita waktu dan energiku sebagai ibu rumah tangga. Win win solution!
Last but not least, aku pernah kepingin banget jadi dokter waktu aku duduk di bangku SMA. Jangan-jangan, salah satu anakku bakal jadi dokter, nih! Aamiin yang kenceng :)
Ternyata, kadang, hal-hal yang sering kita omongin dengan tulus secara spontan atau sering terbesit di dalam hati juga punya potensi jadi kenyataan, ya. Gak harus sesuatu yang bener-bener ditulis di kertas dan dipajang di tembok sebagai "goal" kehidupan. Atau sesuatu yang sampai dibawa shalat istikharah. Karena, Ia Maha Mendengar. Kita gak pernah tahu kapan mimpi itu jadi kenyataan. Yang bisa jadi satu dekade kemudian. Dan, itu bukan tentang kita, tapi pasangan atau keturunan kita. Jadi, apa mimpi masa lalumu yang tiba-tiba jadi nyata? :)
Posting Komentar
Posting Komentar