Ilma Hidayati Purnomo

Zero Waste: Bagian dari Impian Masa Kecil

Ingin menjadi apa
Setelah dewasa
Ingin menjadi apa
Tak terbayangkan

Dreaming
Smoga impianku jadi nyata
Kalau teman-teman baca lirik di atas sambil nyanyi, berarti kita seumuran wkwk. Berbeda dengan lirik lagu pembuka kartun Minky Momo, aku suka sekali membayangkan nanti dewasa bakal jadi apa. Bayanganku dulu bukan sekedar jadi dokter pakai jas putih, tetapi aku imajinasikan situasi dan jalan cerita hidupku secara detail.

Waktu SD, aku pernah berkoar-koar kepada sahabat-sahabatku kalau aku berencana mau bikin mesin waktu setelah dewasa. Itu sejalan dengan cita-citaku untuk belajar Teknik Elektro. Serius, orang tuaku cerita, kalau aku ditanya cita-citanya apa, aku bakal jawab Teknik Elektro. Sampai sekarang, aku masih gak paham, kenapa di umur lima tahun aku bisa jawab gitu.

Cita-cita Menerapkan Zero Waste

Waktu masih SD, aku jarang main ke luar sama teman. Alhasil, satu-satunya hiburan hanyalah nonton tv di rumah. Aku jadi sering berandai-andai gara-gara apa yang aku liat di tv.

Dulu, aku cukup sering menonton acara investigasi menguak kejahatan sejumlah penjual makanan. Aku dibuat jijik dengan bakso sapi yang dicampur daging tikus atau jajanan yang diwarnai pewarna tekstil. Sumpah, rasanya aku gak mau lagi beli makanan di luar rumah.

Gara-gara nonton itu, aku sampai bertekad kalau udah dewasa nanti bakal bikin semua makanan sendiri. Dengan begitu, aku bisa pastiin komposisinya kayak gimana. Aku bisa jamin pasti gak bakal bikin sakit. Lagian, kalau bikin sendiri, berarti aku gak perlu nambah sampah plastik pembungkus makanan.

Pengaruh tv gak cuma sampai situ. Aku juga pernah nonton soal petani yang ngasih pestisida ke tanaman buah dan sayur. Katanya, pestisida itu punya dampak negatif buat kesehatan. Gara-gara itu, aku berangan-angan bakal nanam sendiri buah dan sayur di rumah.

Semakin lama, impianku semakin berkembang. Aku mau punya rumah yang lahannya luas supaya aku bisa nanam buah dan sayuran yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, aku gak perlu ke pasar buat beli sayur dan buah. Sustainable banget, kan?

Ada satu saat waktu aku SMP, aku mulai tertarik dengan bisnis. Aku terpikir buat bikin kedai es campur campur sendiri! Sistem di kedaiku adalah prasmanan. Semua bahan es campur aku sediakan. Pembeli yang makan di kedai, aku sediakan mangkok, lalu mereka racik sendiri es campurnya.
Es campur yang dibuat oleh AI aplikasi Canva
Ide buat kedai ini bahkan udah sampai penentuan harga per mangkok, daftar bahan yang aku sediakan (hampir 50 bahan!), juga menu ala carte. Bisa dibilang menu ini adalah signature-nya kedaiku. Misalnya, es merah. Komposisinya semua yang merah: stroberi, semangka, sirup frambosen, buah delima, pacar cina, dan lain-lain.

Suplai bahannya pun aku bakal beli langsung dari pabriknya atau bikin sendiri. Alasannya, buat ngurangin sampah pembungkus. Eits, pembeli di kedaiku juga harus bawa kotak bekal atau mangkok sendiri kalau mau pesan buat bawa pulang.

Sistemnya, es campur diracik di mangkok ukuran standar punya kedaiku lalu dipindah ke kotak masing-masing pelanggan. Karena dulu belum ada food delivery service, aku belum kepikiran soal delivery. Kalau mau makan es campur di kedaiku, ya, harus dateng ke tempatnya!

Kenyataan Setelah Dewasa

Ternyata, sulit mewujudkan mimpi masa kecilku. Aku memang berhasil jadi mahasiswa Teknik Elektro, tapi tidak pernah mencoba buat mesin waktu. Saat ini aku pun tinggal di 1-bedroom apartment yang dihuni empat orang. Rasanya hampir mustahil untuk menanam buah dan sayur sendiri. Sedangkan buat kedai es campur, hmm, orang Amerika suka es campur gak, ya?

Setelah beranjak dewasa dan dihantam realita kehidupan, ternyata menerapkan zero waste di seluruh aspek kehidupan itu gak semudah bayangan waktu masih anak-anak. Mungkin masih seru, tapi ribet. Harus rajin nyuci lah. Harus bawa-bawa tempat makan ke mana-mana lah. Akhirnya, aku baru sampai ke tahap lebih mindful waktu mau menggunakan barang sekali pakai. Meskipun begitu, aku tetap mengutamakan kepraktisan.

Pakai Plastik Berulang

Kalau belanja ke supermarket dan telanjur ambil plastik, plastik itu bakal aku pakai berulang sampai udah rusak atau kelewat kotor (gak bisa dibersihin lagi). Selain alasan biar gak nambahin sampah di lingkungan, plastik di sini berbayar euy! Meskipun cuma 8¢ (Rp 1212), tetep aja itu duit 😛 Gak cuma plastik belanjaan, kalau dapat food container pas beli makanan di luar, aku bakal cuci dan pakai sampai rusak.

Berburu Barang Second

Lima tahun lalu, salah satu culture schock yang aku alami saat baru menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam adalah cara orang sini menyingkirkan barang tak terpakai yang masih bagus. Aku cukup jalan kaki di sekitaran neighborhood sambil cuci mata. Kalau ada barang yang tergeletak di pinggir jalan, itu halal buat diambil.

Barang yang aku temukan juga gak main-main. Bisa dapat mainan berbaterai yang masih berfungsi dengan baik padahal harganya $45 (sekitar Rp 682.000). Kadang dapat meja, kursi, juga buku.
Ilustrasi barang bekas tergeletak di perumahan dibuat dengan AI aplikasi Canva
Selain di pinggir jalan, dulu di neighborhood tempatku tinggal di Chicago bahkan punya grup Facebook khusus buat saling berbagi barang bekas. Nama grupnya Buy Nothing Hyde Park. Waktu lahiran anak kedua, sebagian besar keperluan bayi aku dapat dari grup ini. Kebayang kan, baju bayi newborn biasanya cuma kepakai sekian kali terus udah gak muat. Makannya bajunya masih sangat layak untuk dipakai.

Kadang juga kami membeli barang second dari Facebook Marketplace. Nah, ini agak tricky terutama buat beli barang elektronik atau mobil. Kalau beli barang elektronik, harus dateng ketemu orangnya dan cek fungsionalitas barangnya secara detail.

Beda kalau beli mobil, harus ditemani satu orang laki-laki dewasa. Soalnya, takut diculik 😝 Dulu suamiku pernah nemenin temennya cek mobil yang dijual di Facebook Marketplace. Suamiku memang harus bantuin cek kondisi mobilnya.

Jarang Beli Obat dan Vitamin

Selama tinggal di US, aku cuma pernah beli obat pereda sakit (ibuprofen) sama zat besi atas inisiatif pribadi. Jujur, aku paling gak telaten kalau disuruh minum obat atau vitamin teratur. Pernah beberapa kali ke dokter dan dikasih obat atau vitamin, berakhir terbuang karena udah kedaluwarsa. Syukurnya, kami sekeluarga sehat dan gak perlu obat atau tambahan vitamin apapun.

Isi Kulkas Minimalis

Aku bukan penganut meal prep. Jumlah masakan yang bisa aku masak dan cocok di lidah suamiku juga gak banyak. Alhasil, aku lebih milih masak itu-itu aja. Jadi, bahan yang aku beli bisa ditekan jumlah dan variasinya. Pokoknya aku usahakan semua bahan mudah busuk itu tidak sampai busuk sebelum aku konsumsi.

Oh, ternyata ada satu mimpiku yang tercapai, yaitu masak sendiri. ✨Yeay✨Alasannya, makanan mateng di luar harganya bisa 10x lipat kalau masak sendiri. Lagipula, gak ada yang jual terang bulan atau martabak asin di sini. Terpaksa bikin sendiri wkwk

Hemat Barang Elektronik

Suamiku tipe orang yang kalau mau beli barang elektronik, dia bakal riset dulu reviewnya di Google dan Youtube berhari-hari sampai dia ketemu satu yang klik banget. Maksudnya, barang yang buat dia reasonable secara harga dan fiturnya. Setelah dibeli, niscaya barang itu akan digunakan sampai titik darah penghabisan alias dipakai sampai rusak dan tidak akan pernah dijual. Kalau udah rusak, tinggal di bawa ke recycling center.

Selain barang elektronik, aku juga jarang beli baju baru. Biasanya baru beli kalau pulang ke Indonesia. Terakhir kali beli baju baru waktu suami pulkam 2 tahun lalu. Kalau baju yang kami pakai udah gak muat, biasanya kami tawarkan di grup berbagi barang bekas atau dibawa ke tempat yang menampung barang bekas. 

Kesimpulan

Walaupun kehidupan dewasaku tidak sama dengan apa yang aku bayangkan waktu kecil, ternyata ada beberapa prinsip zero waste yang sudah aku lakukan dengan konsisten. Kalau kamu, langkah kecil zero waste apa yang udah dilakukan?
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Ibu rumah tangga yang kadang belajar hal baru, menulis, memasak, atau ngajar anak. Saat ini tinggal di Seattle, Amerika Serikat.

Related Posts

3 komentar

  1. Punya mimpi menjadi "pahlawan lingkungan" ini juga salah satu it list aku loh mbak Ilma.
    Walaupun ternyata setelah berkeluarga agak sulit menerapkan tapi minimal aku bisa ngajarin anak anak untuk selalu punya tiga tempat sampah.

    Tempat sampah dapur, tempat sampah plastik dan tempat (biasanya keranjang) untuk beja barang yang masih bagus tapi udah ngga dipake.

    semoga walaupun belum seratus persen menerapkan green style tapi udah menerapkan pemisahan sampah.

    BalasHapus
  2. Tapi, kalau membaca apa yang sudah mbak Ilma lakukan, udah otw menuju zero waste lifestyle ya. Aku yang masih berusaha banget, merasa mbak Ilma udah keren banget.
    Pernah mencoba meal prep, akunya nggak telaten hiks.

    BalasHapus
  3. Rasanya sedih yaa.. Pas kecil, kita tuh selalu menganggap bahwa dunia bisa ideal kok.. seperti impian masa kanak-kanak yang masih polos.
    Tapi begitu dewasa, wah.. dihantam kenyataan yang bertubi-tubi, rasanya mau menyerah. Mau ikut kebiasaan orang kebanyakan. Tapi semoga yang namanya prinsip, meskpun baru sedikit yang menerapkan, kita bisa mengajarkan kebaikan pada anak-anak.

    Dan aku ikutan seneng lagi.. ka Ilma impiannya ada yang terwujud.
    Hehhee.. serasa pin ikut bersorak.

    Semoga impian lain meskipun belum terwujud, tapi kalau dirunur, sebenernya ini loo.. maksudnya. Hehehe..

    Asik yaa.. tinggal di Amrik.
    Banyak hal trasa sederhana, tapi unique. Kalau untuk gadget, biasanya ada masa pakainya yaa.. Sama halnya dengan otomotif. Jadi kadangkala, mau digunakan sampai titik darah penghabisan tuh uda ga di support lagii..

    BalasHapus

Posting Komentar