Ilma Hidayati Purnomo

Badai Topan 2024

Waktu liat pengumuman itu di aplikasi prakiraan cuaca, aku tidak panik. Justru, aku cenderung meremehkannya.

"Alah, paling cuma angin kenceng maksimal sejam terus berhenti."

Bukan tanpa alasan, dulu aku sering kena prank waktu tinggal di Chicago. Ada peringatan thunderstorm, ternyata cuma hujan petir 15 menit. Pernah juga ada peringatan tornado, ternyata tidak terjadi apa-apa.

Lima tahun tinggal di kota dengan julukan "Windy City" membuatku lebih santai menghadapi angin kencang. Angin yang kumaksud itu, kalau kamu lagi nunggu di halte bus terus ada angin badai salju, kamu harus pegangan ke tiang biar gak terbang ketiup angin!

Gak pernah ada ceritanya mati lampu di Chicago meskipun sering ada angin kencang. Jadi, aku senyum-senyum aja waktu liat chat di grup Ibu-ibu Seattle. Mereka pada heboh beli senter, lilin, nyiapin makanan, sama isi ulang kompor grill.

Aku sih, gak siapin apa-apa.
Sial, aku sesumbar.

Hari Pertama: Menerjang Topan, Bermalam dalam Gelap

Selasa, 19 November 2024 jam 4 sore. Matahari hampir terbenam. Angin mulai kencang. Terdengar suara ranting-ranting menghantam dinding dan atap apartemen.

"Krek krek krek krek ... Brugh!"

Waduh, itu pasti suara batang pohon besar yang jatuh.

Listrik sempat mati, lima detik kemudian nyala lagi. Panik, aku baru mulai masak nasi dan goreng telor. (Telat banget, emang)

Lampu di apartemen makin mirip disko setelah siklus mati nyala terulang kembali. Namun, pada pukul 5:45, listrik mati dan tidak menyala lagi.

Aku kabarkan ke grup Ibu-ibu Seattle. Tsk! Aku yang paling selow, ternyata malah aku duluan yang kena pemadaman listrik.

Aku kabarkan juga ke suami. Dia minta aku jemput di kantornya. Segera aku minta anak-anak pakai jaket lalu kami masuk ke mobil.

Suasana jalanan terasa mencekam. Daun dan ranting kecil beterbangan. Tak ada penerangan jalan. Lampu lalu lintas pun mati. Alhasil, pengendara mobil yang mau melintas harus berganti giliran. Syukurlah, pengendara di sini paham etika. Mereka akan menunggu giliran mobil dari sebelah kanan melaju, barulah giliran mereka menyebrangi perempatan. Jadi, tidak ada saling sikut-sikutan, apalagi mainan klakson.

Perjalanan dari apartemen ke kantor suami hanya sepuluh menit. Ternyata gedung-gedung di dekat kantor suami masih mendapatkan aliran listrik. Aku masih berpikiran positif kalau pemadaman listrik ini paling hanya bertahan sekian jam di beberapa lokasi saja.

Beres beli makanan, kami pulang ke apartemen. Ketika memasuki highway, dorongan angin kencang (gust) rasanya hampir menyeret mobil ke arah samping. Oke, anginnya mulai serius.
Video dari salah satu Ibu-ibu di grup chat
Tinggal 2 km lagi sampai di apartemen. Rupanya macet total gara-gara ada lampu lalu lintas yang mati dan jatuhnya batang pohon yang menutupi jalan. Terpaksa aku putar balik dan cari jalan lain. Tenyata, jalan yang kami lewati itu berliku, menanjak, menurun, dan jaraknya 2X lebih jauh dari jalur biasa.

Masuk ke dalam apartemen, kami menyalakan senter HP untuk penerangan sementara. Selesai makan, kami langsung masuk ke kamar tidur, mengumpulkan semua selimut, menggunakan baju hangat dan kaos kaki. Kami berempat tidur berdempetan dan berbalut selimut di kasur queen size demi menjaga tubuh kami tetap hangat. 

Masih terdengar suara angin kencang dan ranting yang menabrak atap sekitar jam setengah 9 malam hingga kami terlelap. Aku terbangun jam 11 malam. Ternyata, suasana di luar rumah sudah amat tenang. Jangankan angin kencang, ranting-ranting pohon saja tidak bergoyang.

Aku cek peta pemadaman listrik. Ya ampun, belasan kota kecil sepanjang 100 km ternyata mengalami pemadaman listrik! Total ada sekitar 600.000 orang yang terdampak.
Screenshot tanggal 19 November 2024. Angka-angka di atas menunjukkan titik pemadaman. Dalam satu titik, bisa jadi hanya 1 pelanggan terdampak, bisa juga 3000+ pelanggan seperti pemadaman di area apartemenku


Dampak Pemadaman Listrik

Mati listrik itu hal lumrah terjadi di rumah masa kecilku dulu di Kabupaten Bandung. Hujan sebentar aja bisa bikin mati listrik. Namun, dulu, kami belum terlalu bergantung dengan listrik. Asalkan masih ada air di toren, bisa mandi. Masih bisa masak juga karena pakai kompor gas. Tidak pernah terjadi lumpuhnya fungsi rumah gara-gara mati listrik.

Di sini berbeda. Sekali-kalinya ngalamin mati listrik di US, tempat tinggal kami nyaris kehilangan fungsinya. Pertama, penghangat ruangan kami bertenaga listrik. Tanpa penghangat ruangan, suhu ruangan akan turun secara bertahap sampai hampir sama dengan suhu di luar, sekitar 10C.

Kedua, penghangat air juga bertenaga listrik. Ketika terjadi pemadaman listrik, hanya tersisa air hangat di tabung sebesar 140 liter. Jangankan tanpa listrik. Kadang, sehabis suamiku mandi pakai shower air panas, air hangatnya habis. Tingga tersisa air dingin yang mengalir dari kran air.

Ketiga, tidak bisa masak sama sekali. Kompor saja bertenaga listrik :') Belum lagi kulkas mati. Gimana kabarnya daging dan ayam beku? Aku memilih tidak menyentuh kulkas sama sekali dengan harapan suhu kulkas tidak banyak berubah sampai listrik menyala.

Terakhir, suamiku tidak bisa kerja. Gimana mau nge-charge laptop? Gak ada home wifi juga.

Hari Kedua: Tidak Terhubung dengan Dunia

Rabu, 20 November 2024. Pagi-pagi buka SMS dari Issaquah School District yang mengabarkan liburnya sekolah. Hore. 

Jam 10 pagi aku mengantar suami pergi ke kantor. Aku sudah bilang, paling-paling suami juga gak bakal bisa buka pintu gedung kantor karena harus tap kartu. Toh, area kantor juga sudah kena pemadaman. Namun, suami bersikeras mau mengecek.

Suami turun dari mobil. Aku tetap menunggu di parkiran, kalau-kalau dia memutuskan pulang. Aku coba kirim SMS untuk menanyakan apakah bisa masuk kantor atau tidak. Ternyata, pesanku tidak terkirim. Ah, sudah sejak tengah malam, sinyalnya mulai timbul tenggelam. Yang jelas, ponsel kami tidak menerima koneksi internet sama sekali.

Lima menit kemudian suami kembali ke mobil. Kami berencana beli selimut yang bisa dihangatkan dengan listrik. Akhirnya kami berkendara ke daerah yang sekiranya dapat sinyal. Kami pun berhenti di sebuah parkiran apartemen.

Kami berhenti cukup lama karena suami harus berkoordinasi dengan teman-teman kantornya, membahas deadline proyek yang semakin dekat. Aku perlu cari heated blanket untuk malam ini. Akhirnya kami putuskan untuk pergi ke supermarket sejauh 20 km untuk beli selimut penghangat ini.

Setelah berkendara selama hampir 30 menit, kami dibuat terbengong-bengong dengan tulisan pada kertas besar yang ditempel di kaca pintu geser supermarket ini.

"CLOSED due to POWER OUTAGE"

Ya elah, kenapa Google Maps gak update soal ginian, sih? 😩

Jadi, kami pulang. Makan sisa makanan kemarin termasuk roti, apel, dan pisang. Kami menghemat energi dengan diam di kamar saja sambil snuggling biar tetap hangat. Inilah malam kedua kami tidur dalam gelap dengan suhu ruangan yang semakin dingin. Aku bahkan tetap menggunakan winter jacket di dalam apartemen.

Hari Ketiga: Berburu Es Batu dan Mengungsi

Kamis, 21 November 2024. Suami bilang, ini saatnya mengungsi ke hotel karena suami harus ngerjain kerjaan. Jam 12 siang air hangat di apartemen kami juga sudah habis, betul-betul tinggal tersia air dingin sedingin air kulkas.

Siang itu, kulkas kami sudah mati lebih dari 40 jam. Aku benar-benar khawatir dengan kondisi daging beku yang kusimpan di freezer. Gimana kalau akhirnya mencair?

Akhirnya, aku pergi dalam sebuah misi: membeli es batu. Supermarket terdekat dari apartemen sudah kehabisan es. Aku berkendara lagi selama 10 menit. Supermarket kedua juga kehabisan es batu.

Aku berkendara 15 menit lagi. Supermarket ketiga ternyata tidak jual es. Aku pergi ke supermarket yang cukup dekat dari sana. Habis juga es batunya.

Hhh ... Kalau dipikir-pikir, emang gimana caranya supermarket itu bisa jualan es batu? Lah, supermarket-supermarket ini beroperasi dengan listrik yang sangat minim, hanya mengutamakan mesin kasirnya nyala. Kulkas-kulkasnya gak nyala.

Aha! Coba beli es batu di KFC aja! Kebetulan ada satu gerai KFC di situ. Ternyata tutup.

Usaha terakhir. Aku coba ke gerai McD deket sini. Beuh, antrian drive-thru nya mengular. Masuk ke dalam resto, orang-orang berjejer di depan kasir. Ini gimana cara minta esnya? Wkwk

Aku berinisiatif menggunakan komputer untuk memesan. Ternyata di sana tersedia menu "water" dengan harga $0. Yosh! Tinggal aku modifikasi aja dengan minta extra ice terus nanti bilang sama stafnya, gak usah dikasih air. Aku pesen 3 water dan ... voila! Aku dapet nomor order #793.

Sembari mengantri buat ngomong sama stafnya, aku lihat di layar antrian pesanan, ada nomorku. Terus tiba-tiba nomorku hilang! Ah, jangan-jangan orderanku di-cancel gara-gara gak penting. Ya iyalah, orang lagi banyak banget yang pesen, ini cuma pesen air.

Apa boleh buat, aku harus mesen langsung sama stafnya. Gara-gara saking banyaknya pesanan, hampir jarang stafnya pergi ke meja kasir. Semua orang memesan dan langsung bayar di aplikasi. Jadi, tinggal ambil makanan aja.

Aku berhasil ngomong sama satu staf. Aku bilang, aku pesen air pakai es tapi jangan kasih air, aku mau es aja. Tiga, ya! Terus si staf itu langsung buru-buru pergi. Tau-tau dia cuma bawa satu gelas es.

Yah, terpaksa harus minta lagi, nih. Nunggu lagi ada staf yang lain. Nunggu lagi diambilin esnya. Total dua puluh menit aku berdiri di depan meja kasir McD cuma buat dapetin dua gelas es.
Didapat dengan perjuangan

Dah, pulang ke apartemen. Masukin es dari McD ke plastik dan membuka freezer untuk pertama kali sejak mati lampu. Syukurlah, dagingnya masih beku! Buru-buru aku masukin es dan menutup rapat pendingin itu.

Lanjut, siap-siap pergi ke hotel. Kami berkendara sekitar satu jam, menempuh jarak 60 km. Rasanya kayak masuk ke peradaban yang berbeda. Lampu-lampu di toko-toko pinggir jalan menyala. Kegiatan orang-orang di sini tampak normal. Berbeda dengan kota tempatku tinggal yang hampir lumpuh. Toko-toko gelap dan tutup.

Kami sempat mampir supermarket untuk beli roti, pisang, dan heated blanket. Lalu menuju ke hotel. Anak-anak langsung kumandikan. Giliran suami yang mandi. Lanjut, suami set up meja kerja buat begadang malam ini.

Aku juga ingin mandi. Shower air hangat kunyalakan. Siraman air hangat membasuh kepalaku. Ah, nikmatnyaaaa. Rasanya ini mandi paling nikmat dalam hidupku. Mandi di hotel memang rasanya jauh lebih enak, apalagi setelah tiga hari tidak mandi dan harus menghemat air hangat di apartemen ... Kayaknya, aku mandi sampai setengah jam lamanya (padahal biasanya 5 menit aja kelar) 😂

Malam itu aku cek grup Ibu-ibu Seattle. Banyak dari mereka yang sudah terbebas dari pemadaman listrik sejak hari sebelumnya. Ah, tempat tinggalku termasuk yang kurang beruntung. Paling awal mati listrik, paling akhir nyala.

Jam setengah 11 malam aku coba cek peta pemadaman listrik. Syukurlah, listrik di apartemen kami sudah kembali! Yeay! Aku cek status wifi router dari aplikasi di ponsel. Ternyata sudah aktif. Udah santai lah, ya. Besok pulang ke apartemen tinggal cuci-cuci.
Ada yang seneng karena jadi staycation dadakan. Sampai baru bisa tidur tengah malem 😛

Hari Keempat: Sebuah Plot Twist

Jumat, 22 November 2024. Kami keluar dari hotel jam 10 pagi lalu aku drop suami dulu di kantor. Aku dan anak-anak sampai di kompleks apartemen sekitar jam 11an. Aku perhatikan dari jauh, kok kantor administrasinya keliatan gelap, ya?

Begitu aku sampai di gedung apartemenku, aku mendesah. Ya ampun, ternyata masih mati listrik :') Aku cek status pemadaman listriknya, ternyata udah mati sejak jam 9:30 pagi. Dahlah, aku pasrah.

Pas siang, suamiku telpon. Dia bilang kalau di luar suhunya lagi anget. Mending ke taman aja, daripada kedinginan di apartemen. Lah, tau-tau jam 2 siang listriknya nyala!

Huwaa! Langsung pesta! Nyalain semua mesin, deh. Mesin cuci, nyala. Dishwasher, nyala. Pressure cooker, nyala. Kompor, nyala!

Liat isi freezer, semua masih beku. Liat isi kulkas bawah, dingin, sih. Tapi aman gak, ya? Gimana kalau suhu kulkas bawah sempat naik? Mana pas aku liat chat di grup Ibu-ibu Seattle, mereka pada buangin makanan!

Emangnya gak ada jalan lain, ya? :')

Tidak. Aku tidak mau menyerah gitu aja. Aku mau cari cara lain supaya gak harus buang semua bahan makanan ini dari kulkas. Next, aku bakal cerita gimana aku menyelamatkan bahan-bahan makanan ini, ya!

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog.


Ilma Purnomo (Mama Razin)
Ibu rumah tangga yang kadang belajar hal baru, menulis, memasak, atau ngajar anak. Saat ini tinggal di Seattle, Amerika Serikat.

Related Posts

5 komentar

  1. Ya Allah ... Semoga sudah baik-baik saja ya teh Ilma. Pengalaman yang mendebarkan.

    BalasHapus
  2. Aku kok ikut senyum lihat foto anak-anak mendadak staycation. Senangnya jadi anak-anak yah, engga paham kerempongan orang tuanya. Semoga aman terkendali yah...

    BalasHapus
  3. Nightmare juga mati lampu di Seattle ya Ilma. Beda dengan mati lampu di Indonesia yang relatif masih aman-aman saja.

    BalasHapus
  4. aku relate banget nih walaupun skalanya beda. Perlu lebih memperhatikan pengumuman soal cuaca emang ya. Terus itu gimana jadinya cara menyelamatkan makanan di kulkas? Aku kemarin setelah 5 hari mengungsi, akhirnya harus membuang makanan yang ada di kulkas deh.

    BalasHapus
  5. Mamah Ilmaaaa, ini Teteh bikin survival guide edisi pemadaman listrik di US, lengkap dgn plot twist es McD ya 😅😍
    Salut dengan tenangnya Ilma meskipun situasi udah macam film apocalypse.
    ***
    Ku yakin ksah ini bakal jadi bahan obrolan seru sama anak anak nanti, ".. inget endak dulu kita prnah bobo pake winter jacket di apartemen.." ehehe

    Semoga next time ga kena kejadian serupa ya Ilma.🥰🤲

    BalasHapus

Posting Komentar