Ilma Hidayati Purnomo

Hari Ini Masa Laluku Membuatku Lelah

Hal-hal negatif yang terjadi dulu, kenapa masih menghantuiku sampai sekarang, ya?

Hal-hal Kelam saat Masa Kecil

Sejauh yang aku ingat, Mama pernah cerita kalau waktu aku bayi (usia sekitar 1.5 tahunan), aku pernah tinggal di Australia. Mama cerita, aku anak yang berani. Kalau dibawa ke taman, aku bakal deketin anak bule lain, ngajak ngobrol (tentunya dengan bahasa bayi) dan ngajakin main. Bukan cuma sesama bayi, kalau ada temen Papa, aku juga berani ngajakin main.

Ternyata, fitrahku bukan anak pendiam dan suka bersosialisasi. Namun, semakin besar, aku ingat pada usia 5 tahunan, orang tuaku mulai banyak melarang.

Dilarang main ke luar rumah. Dilarang menerima uang angpau dari saudara.

Coba bayangin, waktu kecil, aku dikasih hadiah. DIPAKSA menerima hadiah. Ditonton semua orang dewasa. Dan, aku harus menolak? Emang itu ada di fitrahnya anak, ya?

Lanjut, sejak kecil, aku mulai jadi pendengar setia setiap keluhan Mamaku atas keluarganya dan keluarga Papa yang menyebalkan. Karena aku masih kecil, aku bisa menyimpulkan semuanya. Aku kan menyerap semua informasi.

Anehnya, giliran aku membuat kesimpulan Bude A jahat sambil menuliskan di papan tulis. Mamaku malah menghentak, "Hei, kamu gak boleh gitu!"

Aku malu. Merasa salah. Tapi, itu kan cuma hasil observasi, bukan? Kan itu yang selalu Mama bilang ke aku!

Di usia muda, aku sudah mulai menyimpan rasa berbeda untuk teman laki-laki. Waktu pertama kali ketahuan, aku ditertawakan Mama. Malu, sakit. Aku ingin sekali menutup diri.

Ya ... Sejak itu aku jadi menutup diri. Mulai suka berbohong sama Mama. Malas cerita sama Mama.

Aku pernah dibawa sama temen cewek ke dalam mobil jemputan waktu istirahat kelas 2  SD. Dia bilang, aku mau didandani jadi cantik. Terus kancing bajuku dibuka. Bagian atas bajuku dibuka dan diturunin sampai bahuku keliatan. Tiba-tiba aja bel berbunyi, dia kabur! Aku gak dibantuin benerin penampilanku.

Aku nangis sendirian di dalam jemputan. Aku gak berani balik ke kelas. Juga takut diliat laki-laki. Takut diapa-apain. Beruntung, ada kakak kelas perempuan kelas 4 atau 5 yang liat aku nangis di dalam mobil. Dia bantuin aku benerin dan ngancingin baju.

Aku juga sering dipegang-pegang sama Om jemputan. Bukan yang mengarah ke pelecehan seksual sih, seingetku. Kayak pas lagi dengerin lagu di radio terus tau-tau joget sambil megang tanganku. Risih. Lagi-lagi, aku gak pernah cerita ke orang tua. Aku terlalu gak percaya sama mereka.

Suatu saat pas SD kelas 2, aku pernah mencret di jemputan. Lalu, aku harus melalui hari-hari memalukan selama 4 tahun lamanya karena aku diejekin Om jemputan itu.

I lived with such negative environment. 

Belum lagi aku sering lihat ortu berantem. Masalahnya, ini tuh bukan menyelesaikan konflik, tapi cuma saling sahut-sahutan, teriak-teriakan terus tau-tau Papa pergi gitu aja entah ke mana. Pernah sampai 3 hari.

Kalaupun Papa stay di rumah, mereka bakal diem-dieman. Dampaknya? Aku juga sering berantem sama Papa. Dikit-dikit, kita gak sepaham. Mulai deh, aku banting pintu. Teriak-teriak ke orang tua.

Aku selalu takut kalau mereka berantem. Mungkin, aku jadi terbiasa memiliki tingkat hormon stress yang tinggi selama di rumah makanya aku jadi kayak gini.

Hal yang aneh tuh, Mama bilang Papa itu gak tau gimana cara memahami aku. Papa takut aku marah padahal yang terjadi sebaliknya, Papa itu gampang melarang aku melakukan ini dan itu. Dan, marah kalau aku melakukan kesalahan.

Gilirannya aku melakukan hal baik atau mencapai prestasi di sekolah? Jangankan reward, gak ada apresiasi sama sekali.

Papa juga jarang di rumah karena ada pekerjaan. Ngobrol sama Papa? Ha! Mimpi. Nganterin ke sekolah aja gak ngomong sama sekali.

Selalu Mama yang jadi jembatan. Tapi Mama bukan jembatan yang baik. Sering jadi salah paham, malah jadi pertengkaran terbuka antara aku sama Papa. Atau bahkan sama adik.

Ditambah lagi aku selalu jadi tong saampahnya Mama tentang cerita buruk soal keluarga.

Makanya, sekarang, kalau habis nelpon orang tua, aku kayak kesemprotan energi negatif mereka. Mungkin, itu karena fitrahku terlukai. Jadi malas berhubungan dengan mereka yang sudah melukai fitrahku.

Di Luar Tampak Keren, Dalamnya Hancur

Aku punya ambisi untuk jadi anak pinter. Waktu kelas 1-3, Mama masih bisa ngajarin aku. Telaten nanyain materi pelajaran. Aku juga jadi anak yang gak gampang menyerah.

Meskipun aku inget pas kelas 1 SD aku pernah jadi ejekan Mama dan guru-guru. Gara-garanya, ada soal acak huruf di ujian caturwulan. Harusnya, kata yang dibuat itu "belajar" tapi saking acaknya, aku malah nulis "rabejal". Itu bener-bener jadi ejekan yang diulang-ulang terus.

Nah, pas ujian caturwulan Bahasa Sunda, ada pertanyaan "warna hayam" bla bla bla. Lah, mana aku tau! Orang tuaku gak bisa bahasa Sunda, gimana aku bisa? Aku jawab aja "ngejreng". Si guru itu lagi ngoreksi jawaban di depan kelas dan dengan santainya bacain jawaban sambil tertawa-tawa.

Setelah kelas 3, Mama udah gak ngajarin lagi. Gak bisa, katanya. Mama juga menyerah ngajarin aku baca Al-Quran gara-gara aku ngambek pas belajar gak bisa-bisa. Terus, aku dilesin gitu aja.

Papa kalau ngajar kadang pakai marah-marah. Itu pun gak selalu ada di rumah buat ngajarin, kan?

Tapi aku gak menyerah.

Aku belajar sendiri. Aku dikasih kesempatan buat bimbel meskipun pernah ada masalah juga. Aku lagi sakit batuk pilek. Habis dari dokter, aku masih pingin les. Aku dipaksa pulang sama Papa sambil dimarahin.

"Aku kan gak bakalan mati juga cuma gara-gara sakit batuk terus bimbel!"

Aku berusaha jadi anak pinter dengan belar sendiri dengan tekun, ngerjain PR sendiri. Memang benar, sejak kelas 4-6 aku selalu masuk rangking 3 besar di kelas.

Aku bangga, tapi orang tuaku biasa aja. Malahan, sampai aku sendiri yang harus memberi reward buat diri sendiri. Aku bilang, aku mau beli HP Nokia Navigator pakai uang tabunganku kalau berhasil masuk SMA 3 Bandung. Bukan inisiatif mereka dan bahkan dibeli sebagian pakai uangku.

Kalaupun aku mau belajar hal baru, itu harus dari diri aku sendiri. Orang tuaku gak mengarahkan gitu. Padahal mereka tau aku suka main musik, baru les musik kelas 2 SMA karena permintaan pribadi.

Like .... sebenernya aku ini diasuh atau cuma dikasih makan terus tumbuh besar, sih?

Sampai akhirnya aku hancur beneran. Aku pacaran diam-diam wkatu kelas 2 SMA. Wuih, geger tuh rumahku. Orangtuaku sampai harus susun strategi, buat sandiwara seakan-akan mereka ingin pindah kota dan menetap di pesantren.

Ini apa sih? Drama macam apa ini?

Drama terus berlanjut sampai aku di cap "anak yang gak senurut adiknya". Rusuh, gak anteng kayak adik. Gak "prigel" alias jago urus rumah kayak adik.

YA EMANG AKU KAN BERBEDA DARI ADIKKU! Gimana, sih.

I wish I could run away from the house.

Setelahnya, ada drama aku cinta cowok penyakitan dan orang tuaku gak setuju sampai AGAIN membuat sandiwara lagi. Drama aku mau pindah kuliah tapi Papa membelokkanku untuk nyelesein kuliah di ITB aja. Gara-gara apa? Biar gak diolok-olok keluarga besar karena pindah-pindah kuliah.

Lanjut, drama TA yang super membuat stres sampai aku nangis di atap rumah dan untuk pertama kalinya Papa membantuku lebih dalam, sampai alat TA kami bekerja. 

Drama lagi gara-gara aku dapet kesempatan exchange student ke Kore Selatan dan Papa MELARANG aku pergi dengan alasan TA ku nanti gak beres. Padahal Kepala Prodi udah kasih lampu hijau. Like, WHY?!

Harusnya aku kabur aja dari rumah waktu itu.

Drama terus berlanjut gaes sampai akhirnya suami melamar ke rumah, Papa kayak ngasih lampu hijau. Proses persiapan pernikahan pun banyak drama. Setelah menikahpun banyak drama LAGI-LAGI gara-gara mereka yang lebih memilih aku pisah aja!

Hayoloh, mereka yang setujuin malah mereka pingin aku pisah.

Hari Ini, Aku Lelah

Aku capek. Aku terus berusaha ingin berubah. Minimal jadi diri aku sendiri yang fitrahnya EMANG BERBEDA dari keluargaku. Aku pribadi gak suka hal negatif. Aku lebih suka mikirin sesuatu yang seru untuk dilakukan. Tapi, kalau lingkunganku 20 tahun kayak gitu terus dan dipaksa begitu terus, ya, gimana lagi?

Aku ingin menjadi orang tua yang berbeda. Ingin menjadi orang tua yang dibanggakan anak-anakku. Yang bisa melakukan hal ajaib bin mustahil. Juga, menjadi orang tua yang tidak membawa trauma masa lalu.

Can I do that? Can I?

Or, should I just forget everything I had in the past? And never talk about it anymore?

Will that make me a better person?


Makasih buat remindernya, Rima. (Sumber: Webtoon Pupus Putus Sekolah) 
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Ibu rumah tangga yang kadang belajar hal baru, menulis, memasak, atau ngajar anak. Saat ini tinggal di Seattle, Amerika Serikat.
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar